Selamat datang dirumah Pribadi-ku. Rumah yang dikonstruksi atas fantasi ruang dan dimensi waktu; Kamar kemerdekaan berpikir dan ruang kebebasan berpendapat. Silahkan telusuri setiap sudut dan pojoknya sehingga membuka imajinasi untuk saling berbagi perasaan, pemikiran, pemahaman dan keyakinan.. Dari sini kita akan menjadi satu simpul dalam dimensi virtual tak berbatas.. Salam Adventure..

Kamis, 03 Maret 2011

Gunung Semeru, Soe Hok Gie Dan Kenangan 16 Desember 1969.

Pada 16 Desember 1969, Soe Hoek Gie yang juga tokoh gerakan mahasiswa meninggal di Semeru, bersama salah satu sahabatnya Idhan Dhanvantari Lubis, mengagetkan, Gie dipanggil menghadap yang Maha Kuasa. Musibah Semeru 1969 Banyak orang mengetahui kiprah Gie di dunia politik Indonesia, tapi tidak banyak yang tahu mengenai detail kematiannya. Kecuali rekan-rekan seperjuangannya mendaki puncak Semeru, yaitu Herman Lantang, Wiwiek Anton Wiyana, Abdurachman, Aristides Katoppo, ( alm ) Freddy Lasut, dan Rudy Badil.

Gie meninggal tepat sehari sebelum merayakan hari jadinya yang ke-27. Peristiwa nahas itu tidak lekang dari ingatan Herman. Pasalnya, pria yang memimpin tim pendakian itu menjadi satu - satunya orang yang tinggal bersama Gie di saat kematiannya.

" Posisinya saat itu Hok Gie berjalan di depan, saya di tengah dan Idhan di belakang. Kita sempat mero-sot-merosot waktu itu. Dia sempat bilang ke saya kalau sudah gamang," kenang Herman.
Kondisi cuaca di Semeru kala itu tidak kondusif. Angin kencang, kabut, dan gas letusan mempersulit usaha pendakian tim. Di tengah cuaca buruk itu. Gie sempat mengambil posisi jongkok untuk mengatasi dingin.

" Mungkin posisi berjongkok itulah yang membuat dia menghirup banyak sekali gas beracun. Saya sendiri tidak tahu bahwa di sana ada gas beracun,dan mematikan," lanjutnya. Herman menambahkan, tidak lama setelah jongkok, tubuh Gie mulai menggelepar dan kejang. " Selama beberapa saat ia kejang seperti ayam yang mau disembelih, lalu ia tidak bergerak lagi."


Saat mengetahui kondisi Gie yang sudah tidak bemyawa, Herman pun menengok Idhan yang saat itu posisinya berada di belakangnya. Saat itu, keadaan Idhan sangat lemah. " Ia sempat bilang kepada saya supaya tidak meninggalkannya, saya jawab, saya tidak akan meninggalkan dia."

Namun sayang, tak lama setelah itu, Idhan pun mengalami hal yang sama dengan Gie. " Diam, tidak bergerak." Ketika melihat peristiwa yang terjadi pada kedua rekannya, Herman segera turun dari puncak untuk menemui rekan lainnya, Tides, Freddy,

Badil, Maman, dan Wiwiek.

Setelah turun dan bertemu mereka, ia menceritakan keadaan Gie dan Idhan yang meregang nyawa di puncak Semeru." Waktu itu kami di bawah. Maman juga dalam kondisi yang lemah. Herman lalu turun sambil teriak Hok Gie mati! Hok Gie mati! Herman cerita dalam keadaan tidak tenang, tapi Tides sebagai yang paling tua dari kami menenangkan dalam doa," ujar Wiwiek.

Dalam keadaan panik, tim yang tersisa pun berusaha menenangkan diri mereka dengan berdoa. Mereka menyanyikan sebuah nada tanpa lirik berulang - ulang. Tides lalu segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang magrib, ia bersama Wiwiek menuruni gunung dan menuju perkemahan pusat di tepian Danau Ranu Pane untuk mencari bantuan.

Sehari setelah kematian Gie, mereka kembali mendaki Semeru untuk melihat kondisi Gie dan Idhan. " Baru saat itu kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Badannya dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih," ujar Herman.

Man of action

Kematian Gie sempat menyulut sejumlah spekulasi. Banyak yang berpendapat bahwa ia tewas karena dibunuh. Alasan itu masuk akal mengingat sepak terjangnya dalam mengkritik kebijakan pemerintah pada masa itu.

Namun, Herman yakin kematian Gie murni disebabkan gas beracun sulfurdioksida ( SO2 ) yang dihirup-nya. Saat itu, Herman pun sempat dituduh membunuh Gie, lantaran menjadi orang terakhir bersama Gie.
Kejadian itu dianggap wajar oleh Herman. Menurutnya, dengan sikap Gie yang berani dan keras, bukan tidak mungkin kejadian itu bisa benar - benar menimpanya. Hal senada juga diungkapkan Tides, bahwa pemikiran Gie tidak disukai penguasa.

" Pemikirannya terlalu maju di masa itu. Ia multidimensional, banyak membaca filsafat dan sejarah. Ia bisa menarik relevansi bacaannya itu ke dalam kondisi negara saat itu."
Ia mengenang salah satu tindakan Gie yang terbilang nekat, yakni meletakkan kepalanya di ban panser sebagai bentuk perlawanan ketika berdemonstrasi. " Buat saya tindakan itu sangat berkesan. Menunjukkan bahwa dia bukan hanya seorang pemikir, melainkan juga man of action," tukas Tides. Pria kelahiran 17 Desember 1942 ini dinilai sebagai seorang penggerak kekuatan moral, humanis sejati, dan idealis yang bergairah. [bi/nr]seruu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar